Mengasosiasikan mabuk sama dengan orang sedang minum alkohol biasanya pernyataan ini disampaikan oleh orang-orang tempo dulu. Pengasosiasian “lawas” ini mungkin pada jaman dulu, orang ketika mabuk dianggap telah menengak alkohol.
Kalimat “mabuk tanpa alkohol” ini menjadi trending topic disaat pelatihan pengelolaan keuangan kepada pimpinan organisasi masyarakat sipil di Jawa Timur yang dilakukan oleh Penabulu dengan menjadi “joke” secara berulang-ulang. Bukan mabuk alkohol sesungguhnya, melainkan pimpinan organisasi terlihat dipusingkan dengan standarisasi akuntansi keuangan terkait laporan keuangan proyek maupun laporan keuangan kelembagaan.
Laporan keuangan proyek dengan standarisasi pelaporan dari pendana, mayoritas hampir diseluruh organisasi menguasai mengenai ini, meski prinsip standar akuntansi dalam pelaporan keuangan menjadi salah satu hal yang terus selalu diperbaiki. Tetapi, bagi organisasi yang sedang merangkak untuk menuju pelaporan kelembagaan menjadi barang yang baru, menginggat selama ini pelaporan keuangan kelembagaan kerap diabaikan.
Pengabaian ini bukan kemudian menjadi faktor kesengajaan organisasi tidak ada keinginan untuk dapat membuat pelaporan keuangan kelembagaan, namun kapasitas sumber daya; kebijakan dan; keterjebakan dalam lingkup pelaksanaan proyek di internal organisasi dapat menjadi faktor kendala yang tidak dapat dipisahkan.
Terdapat dua komponen mendasar antara pelaporan keuangan proyek dan pelaporan keuangaan kelembagaan. Pelaporan keuangan proyek terdiri dari Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana (LPPD), Laporan Status Dana (LSD) dan Laporan Realisasi Anggaran (LRA). Sedangkan pelaporan keuangan kelembagaan terdiri dari Laporan Aktivitas (LA), Laporan Posisi Keuangan (LPK/Neraca) dan Laporan Arus Kas. Dari kedua komponen ini kemudian juga di dukung dengan catatan atas laporan keuangan.
Terdapat banyak variable di dalam komponen laporan keuangan organisasi, baik proyek maupun kelembagaan. Variable ini oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) ditangkap sebagai karakteristik pembeda antara organisasi nirlaba dengan organisasi bisnis. Perbedaan utama yang mendasar terletak pada cara organisasi memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas operasinya.
Organisasi nirlaba memiliki karakter memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apa pun dari organisasi tersebut. Sebagai akibat dari karakteristik tersebut, dalam organisasi nirlaba timbul transaksi tertentu yang jarang atau bahkan tidak pernah terjadi dalam organisasi bisnis.
Selanjutnya IAI mengeluarkan ketentuan sebagaimana Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK 45). Pernyataan dalam SAK 45 ini bertujuan untuk mengatur pelaporan keuangan organisasi nirlaba. Dengan adanya standar pelaporan ini diharapkan laporan keuangan organisasi nirlaba dapat lebih mudah dipahami, memiliki relevansi, dan memiliki daya banding yang tinggi.
Adanya ketentuan pelaporan keuangan sesuai dengan PSAK 45 ini selaras dengan Kebijakan Yayasan sebagaimana pada Undang-undang No 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan pada Pasal 52 Ayat 2 dan 3 yang berbunyi:
(2) Ikhtisar laporan keuangan yang merupakan bagian dari ikhtisar laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diumumkan dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia bagi Yayasan yang: a. memperoleh bantuan Negara, bantuan luar negeri, dan/atau pihak lain sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih, dalam I (satu) tahun buku; atau b. mempunyai kekayaan di luar harta wakaf sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih.
(3) Laporan keuangan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib diaudit oleh Akuntan Publik.
Dengan ketersediaan laporan keuangan kelembagaan sesuai dengan PSAK 45, maka kesiapan organisasi dalam rangka pemenuhan kewajiban sesuai dengan Undang-undang untuk pertanggungjawaban publik dan ke Negara dapat dilangsungkan. Namun demikian, kesiapan pada internal organisasi dalam menuju langkah audit pelaporan keuangan ini harus dapat dipersiapkan dengan matang.
Persiapan ini perlu ditunjang dengan melengkapi dan merapikan dokumen yang antara lain laporan keuangan; dokumen legalitas; dokumen sistem pengendalian internal; bukti keuangan sesuai standar dan; dokumen lain organisasi sesuai permintaan Auditor pada Kantor Akuntan Publik (KAP) selaku pihak yang berwenang melakukan audit.
Dengan demikian, adanya audit keuangan terhadap laporan keuangan organisasi dipergunakan untuk mengetahui laporan keuangan yang diterbitkan oleh organisasi telah disajikan secara wajar dan sesuai standar. Sehingga, KAP yang melakukan audit atau pemeriksaan akan menghasilkan pendapat (opini) mengenai relevansi, akurasi, dan kelengkapan atas laporan-laporan tersebut.
Audit di organisasi memiliki dua mata sisi, disatu sisi dapat menjadi beban tambahan bagi manajemen organisasi, baik yang terletak pada pimpinan organisasi maupun bagian keuangannya untuk menyiapkan segala sesuatu dalam rangka proses audit. Disisi lain, keuntungan dari hasil audit dapat menjadi nilai tambah kredibilitas organisasi sebagai salah satu bentuk perwujudan “Good Governance” yang dalam hal ini dapat memberikan kemudahan bagi pemerintah, masyarakat, perusahaan dan lembaga donor untuk mengidentifikasikan organisasi yang telah menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas dan tranparansi terkait dukungan pendanaan.
Semoga good governance ini dapat dimulai dari kita sendiri, sebelum melakukan langkah-langkah yang ditujukan kepada pihak-pihak potensial lainnya!!, semoga 😉