Asumsinya tidak akan pernah goal program pemerintah ini, ibarat permaianan bola, gelandang mengumpankan bola ke striker, hakim garis akan meniupkan berkali-kali. Sosialisasi yang gencar di televisi yang alih-alih mengatakan bahwa penggunaan BBM bersubsidi tidak tepat sasaran. Selanjutnya keperuntukan APBN yang tersedot hingga ratusan trilyun untuk subsidi ini, kemudian digantikan untuk membantu rakyat miskin melalui program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
BLSM ini, pemerintah akan mencairkan bantuan yang akan dibagikan ke 34 provinsi dengan target 15,5 juta masyarakat miskin dan hampir miskin melalui kantor pos yang telah ditunjuk dan komunitas masyarakat melalui perangkat pemerintahan.
Tentunya offside ini akan menimbulkan gejolak sosial, bila dilihat indikator miskin dan hampir miskin di beberapa intitusi Negara, baik pada pemerintahan Pusat maupun daerah letak definisi operasionalnya berbeda-beda, simak saja standart miskin masyarakat di perkotaan dan pedesaan?. Distribusi kartu Jamkesmas?, banyak warga miskin yang seharusnya berhak memperoleh kartu tersebut, hilang haknya, namun warga yang serusnya tidak memiliki kartu, sebaliknya memiliki kartu. Kesiapan pemerintah mendefinisikan orang miskin secara jelas menjadi hal yang penting untuk kemudian menjalankan program BLSM ini.
Masih pada persoalan kemiskinan, bila pembahasan-pembahasan di media massa cetak maupun elektronik akan banyak bertumbuhan angka orang miskin baru dengan pertumbuhan inflasi, maka akan ada benarnya. Pasalnya, kenaikan BBM yang semula Premium Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 dan Solar dari Rp.4.500 menjadi Rp 5.500 terdapat kenaikan prosentase antara 20-40%, tentunya ini mempengaruhi kebutuhan primer masyarakat. Kita lihat saja, harga BBM yang masih direncanakan naik, sudah sebulan sebelumnya harga-harga sembako sudah melambung secara signifikan.
Operasi pasar pengendalian bahan pokok menjadi target pemerintah untuk menjaga inflasi pada titik aman, apakah kemudian ini dapat mungkin terjadi?. Belum persoalan pengendalian transportasi yang juga akan terpengaruh mengikuti dengan adanya kenaikan ini yang selanjutnya akan mempengaruhi biaya-biaya pada semua sektor.
Biaya-biaya yang terjadi disemua sektor, tentunya juga akan mempengaruhi semua lini, tidak hanya terbatasi oleh masyarakat dari golongan si kaya dan miskin, menengah pun juga mendapatkan dampak dari kenaikan BBM ini. Perusahaan akan menghitung ulang biaya produksi hingga pemasaran, pelayanan public baik yang dikelola oleh Negara maupun swasta akan menyesuaikan biaya operasionalnya dan sector-sektor yang lain tentunya akan mengikuti. Inipun berdampak pada peningkatan biaya-biaya pada pelayanan publik yang dipastikan terjadi di sektor kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya, termasuk kebutuhan sehari-hari.
Imbasnya, gejolak ini akan menjadi tuntutan masyarakat agar terdapat kenaikan sumber pendapatan. Tuntutan kenaikan ini tentunya juga terjadi tidak hanya pada sektor swasta, melainkan juga terjadi pada aparatur pemerintahan. Diprediksikan tuntutan kenaikan upah ini kemudian pasti akan terjadi, implikasinya, kenaikan BBM akan diwarnai mogok massal, demo kenaikan upah, upaya standarisasi UMR dan seterusnya.
Alokasi subsidi BBM kemudian bisa saja terjadi tidak hanya untuk BLSM, namun juga dimungkinkan untuk kenaikan upah dan biaya-biaya operasional lainnya pada penyelenggara Negara. Para pelaku usaha juga sulit bersaing karena biaya produksi naik, harga jual kian tinggi dan kalah saing dari barang-barang impor yang bisa didapat di pasaran dengan harga yang lebih murah. Keterjebakan offside ini pun akan menjadi perencanaan yang sempurna oleh Negara dalam menyelamatkan perekonomian dengan menindas dan mengorbankan warga negaranya.
Bila di telisik data dari IMF menunjukkan bahwa 176 negara masih memberikan subsidi energi dari pendapatan Negara kepada rakyatnya. Data inipun menunjukan bahwa Negara maju juga masih memberikan subsidi ini. Hal ini menunjukan bahwa kebijakan subsidi energi diprioritaskan guna membantu kebutuhan rakyat dengan pertimbangan yang matang agar tidak terjadi peningkatan inflasi dan gejolak sosial, apakah kemudian kebijakan realokasi subsidi oleh pemerintah kita sudah tepat?, peran Negara dalam memberikan subsidi sebagai timbal balik pajak-pajak rakyat yang telah diberikannya kepada Negara, apakah ini juga sudah tepat?. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya akan menambah daftar panjang pertanyaan kegalauan yang timbul di masyarakat.
Efektifitas dan efesiensi RPJMN melalui program-program pemerintah sepatutnya juga di evaluasi secara besar-besaran, belanja Negara perlu juga di hitung dan diatur ulang. Pengeluaran Negara, baik dikementrian maupun non kementerian ada baiknya menjadi perhatian. Hal ini bila tidak dilakukan secara serius juga terlihat sebagai pemborosan program-program yang selanjutnya hanya buang-buang anggaran, belum lagi modus yang telah menjadi rahasia umum dalam makelar-makelar proyek Negara yang menghantarkan kasus-kasus korupsi yang merupakan kerugian Negara. Sector pendapatan Negara, baik pajak maupun non pajak menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan mengenai hal-hal yang menyangkut Good Governance.
Seharusnya bila hal ini terjadi, tidak ada kata kejebak offside, selayaknya tidak ada kenaikan BBM, termasuk bila ideology, kebijakan dan kepemimpinan dapat mengembalikan fitrah bangsa ini, sebagaimana di amanatkan pada pasal 33 UUD Dasar 45 untuk mengembalikan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lihat saja gunung emas papua, pertambangan dikalimantan, sumber mata air, migas dilaut-laut dan lain sebagainya di bumi Nusantara kita yang sudah di kuasai oleh Alien ;).